IMPIAN DI GERBANG MAGHRIB


Hari ini rumah kecilku kedatangan ibu dari kampung. Betapa rindunya aku kepada beliau. Seingatku sudah hampir 2 tahun aku tidak bertemu dengan Ibu. Aktivitasku sebagai dosen sebuah universitas di kota Jakarta ini membuatku jarang pulang kampung, bahkan jika itu hari raya sekalipun.
“Apa kabar ibu?” tanyaku sambil mencium tangannya
“Alhamdulillah. Kamu kelihatan lebih gemuk sekarang ya? …”jawab Ibu.
 “Alhamdulillah Ibu..” ujarku sambil tersenyum.
Aku membantu mengangkatkan barang-barang bawaan Ibu.  Ku biarkan beliau beristirahat di dalam kamar. Perjalanan 2 hari 2 malam yang ditempuh Ibu dengan bus dari kampung tentu sangat melelahkan sekali.  Ibuku memang terlalu sederhana untuk ukuran zaman sekarang. Ia lebih senang naik bus, dibandingkan naik pesawat. Padahal menurutku lebih nyaman naik pesawat, hanya perlu waktu 2 jam dari kampung kemari. Aku teringat percakapan dengan Ibu lewat telepon kira-kira seminggu lewat.
            “Farhan.. Ibu rencana besok mau ke Jakarta. Kangen sama kamu nak”ujar Ibu.
            “Kapan Ibu.? Biar Farhan belikan tiket pesawat ya.?” ujarku antusias
            “Gak usah Han. Biar ibu naik bus saja. Biar sedikit santai..” jawabnya.
            “Tapi Ibu..kan capek naik bus 2 hari 2 malam bu” jelasku coba membujuk Ibu.
            “Tenang saja..Ibu sudah biasa. Ibu sudah beli tiket busnya 2 hari lagi.” Jawab ibu.
            Aku terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Ibu memang sangat sederhana sekali.
            Malam itu aku mengajak Ibu makan malam di sebuah restoran Padang. Aku sudah lama sekali tidak makan satu meja dengan beliau. Rindu sekali rasanya saat-saat seperti ini. Teringat dulu sewaktu aku masih kecil, ibu dan almarhum ayah sering mengajakku makan di sawah. Suasana alam pedesaan yang asri, menambah nikmat selera makan kami sekeluarga. Sebagai anak tunggal, aku bersyukur sekali memiliki orang tua yang sangat baik.   Walaupun kini ayah telah tiada, tapi aku telah bertekad untuk selalu membahagiakan Ibu.
            “Farhan…kayaknya enak ya tinggal di Jakarta?” ujar Ibu membuka percakapan.
“Alhamdulillah lah buk..tapi lebih enak di kampung. Udaranya enak, sejuk. Gak kayak disini, panaaas” celotehku.
“Haha…syukuri aja Han. O iya Han, kamu kan kerja udah bagus, udah punya rumah sendiri, Kapan kamu mau nikah nah? Ibuk sudah pengen sekali punya menantu”…
Aku kaget mendengar pertanyaan Ibu. Lagi-lagi masalah pasangan hidup. Entah di rumah, di tempat kerja, atau di tempat makan, selalu saja itu menjadi topik yang sering dibicarakan.. Aku heran kenapa orang-orang senang sekali mempertanyakannya. Padahal menurutku itu adalah masalah pribadi masing-masing. 
Aku mencoba bersikap sewajar mungkin. Aku terus menghabiskan makananku sambil  mencoba mencari jawaban apa kira-kira yang akan kuberikan kepada Ibu. 
“Ibu ini ada-ada saja…insya allah nanti kalau sudah ada, Farhan kasih lihat ke Ibuk” jawabku sambil tertawa.
“Ibu serius lo  Han..umurmu itu sudah 29 tahun. Sudah pantas untuk membina rumah tangga. Ibu sudah semakin tua lo. Kapan ibu mau punya cucu?” ucap Ibu.
“Iya Ibu..doakan saja” celetukku.
Malam itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ini bukan sekali dua kali aku dna Ibu membahas tentang pernikahan. Tetapi kata-kata ibu di rumah makan tadi membekas di pikiranku. Semua orang tentu mendambakan bisa menjalani hidup bersama dengan orang yang dicintai. Menikmati sarapan pagi berdua, pulang kerja disambut oleh senyuman anak dan istri,tak ada lagi kata – kata kesepian di setiap hari. Impian yang terlalu indah untuk diwujudkan.
Kalau boleh jujur, memang usiaku saat ini memang seharusnya sudah menikah. Aku pun masih belum mengerti, kenapa aku masih belum berani melangkah ke sana hingga saat ini. Tak sekali dua kali tawaran menikah datang kepadaku. Banyak sudah kawan yang menyodorkan calon istri untukku. Tidak sedikit juga mereka yang menyindirku karena belum juga memiliki istri. Aku kadang kala juga dianggap terlalu memilih calon istri.
Beberapa bulan yang lalu, aku pergi menghadiri pesta pernikahan seorang teman. Di sana aku bertemu dengan Ari, teman kuliahku dulu. Setelah berbasa – basi, dia pun memulai cerita denganku.
“Eh pak doktor Farhan…kapan nih?tinggal kamu nih yang masih jomblo.hahaha?” ujarnya.
“Sialan lu..mentang-mentang..” celetukku.
“Repot amat sih..wajah ganteng, kerjaan bagus, duit banyak, udah doktor pula..” ujarnya.
Aku hanya tersenyum.
“Aku ada nih kenalan. Mau nggak? Kebetulan kerjaannya juga dosen. Sama kayak kamu Han”
“O iya..dosen dimana?, tanyaku penasaran.
“Ah aku lupa dia mengajar dimana. Nantilah aku tanya sama istriku. Kebetulan mereka dulu teman sekolah waktu SMA.”
“Aku tunggu infonya ya Ri”
“Siip..”
Aku sempat berharap pada informasi yang diberikan oleh Ari. Namun sejak pertemuan itu, aku tidak lagi mendengar kabar dari Ari. Ku coba menghubungi teleponnya, namun tidak pernah di angkat. Aku mengirim pesan lewat What’s App, tapi tidak dibalas oleh Ari. Sepertinya temanku yang satu itu sangat sibuk sekali belakangan ini.
Hari itu aku mengajar di kampus seperti biasa. Tidak ada yang berbeda dari hari – hari sebelumnya.   Walaupun sebetulnya aku masih memikirkan percakapan dengan Ibu semalam. Pagi tadi sebelum berangkat kerja, Ibu juga masih berpesan hal yang sama.
“Han…hati-hati berangkat kerja ya.” pesan Ibu.
“Iya ibu..aku pamit dulu” ujarku.
“Ya..jangan lupa pulang bawa calon menantu ya..hahahaha”celetuk ibu.
            “Hahaha…….”aku hanya tertawa mendengar celetukan Ibu.
            Di tengah-tengah lamunanku tentang Ibu, Tiba-tiba saja Nayla, sekretaris jurusan, masuk ke ruanganku. Aku sontak kaget dan berusaha merapikan posisi dudukku.
            “Pak Farhan..nanti kita ada rapat dosen habis zuhur dengan pak dekan” ujarnya.
            “Iya buk Nayla, terima kasih” aku tersenyum kepadanya.
            “Habis melamun ya pak Farhan?, celetuknya sambil menyerahkan surat undangan rapat kepadaku.
            “Indak juo do (Tidak juga)” ucapku dalam bahasa daerahku.
            “Hahaha ..kalau dengar bahasa Padang disini, jadi ingat kampung halaman jadinya.”jawab Nayla. Dia pun tersenyum sambil berlalu meninggalkan ruanganku.
Dalam hati diam-diam aku kagum dengan dosen yang satu ini. Di usia yang masih terbilang muda, dia sudah dipercaya menjadi sekretaris jurusan di fakultas. Konon Nayla adalah salah satu lulusan terbaik di kampusnya dulu. Tak hanya pintar secara akademik, dia juga pribadi yang sangat ramah kepada siapapun. Maka tak heran, jika banyak dosen lajang yang diam-diam menaruh hati kepada Nayla. Dan jika boleh jujur, aku pun termasuk salah satu di antara mereka. Tapi aku tidak pernah berani menyampaikan kepadanya. Memang aku tipe orang yang kurang percaya diri dalam soal percintaan. Satu-satunya yang bisa ku andalkan untuk mendekati Nayla adalah karena kami berasal dari daerah yang sama, Sumatera Barat.
Sore itu sepulang mengajar, aku melepas lelah di sofa sambil menonton televisi. Tiba-tiba Ibu muncul dari kamarnya lalu menghampiriku.
“Capek yang kamu Han?”. tanya ibu
“Lumayan buk..lelah sekali” jawabku sambil menatap ke layar televisi.
“Han..kamu masih ingat Tante Ros, adiknya pak Sutan, Kepala Desa di kampung kita?, tanya ibu lagi.
“O iya buk.ingat..yang dulu punya warung di dekat SD itu kan?, ujarku.
“Ya…tadi dia nelepon Ibu.kebetulan mereka sekarang juga sedang di Jakarta. Katanya nanti malam mau mampir ke rumah. Kamu nanti malam nggak kemana-mana kan?”, lanjut Ibu bertanya.
“Wah baguslah Ibu…terus kita harus menyiapkan apa bu?, aku balik bertanya.
“Tenang saja kamu Han. Nggak usah repot-repot. Kamu yang penting persiapkan diri saja.” Jelas Ibu. Aku pun lantas terheran mendengar perkataan Ibu.
“Maksud ibu?” tanyaku lagi sambil menatap serius kepada Ibu.
“Gini lo..Tante Ros itu kebetulan punya keponakan namanya Ola. Dia juga sudah kerja di Jakarta ini. Cuma Ibu lupa nanya di kerja di mana. Siapa tau cocok sama kamu. Pokoknya kamu siap-siap ya”  ucap Ibu.
“Tapi bu…” sanggahku.
“Udah gak usah tapi-tapian” tegas Ibu.
Aku terkejut bukan main mendengar ucapan Ibu sebentar ini. Kenapa mendadak seperti ini? . Tidak pernah terpikir dalam benakku bahwa hidupku akan berakhir dengan percobaan perjodohan seperti ini. Sesuatu yang dianggap ketinggalan zaman di era saat sekarang. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak untuk membantah Ibu. 
Malam yang paling tidak kuinginkan ini akhirnya datang juga. Tante Ros berkunjung ke rumahku setelah sholat Isya. Kami kemudian bersalam-salaman dan saling berbasa-basi satu sama lain. Tapi ku lihat tante Ros hanya datang sendirian. Tak ku lihat ada sosok seorang anak gadis bersamanya. 
Syukurlah gumamku dalam hati.
“O iya, Ros..mana ponakanmu itu?katanya mau diajak kesini juga?, tanya Ibuku.
“Eh iya buk Aisyah..dia katanya kena macet di jalan. Mudah-mudahan sebentar lagi dia sampai” jawab tante Ros.
“O iya Farhan..Ola itu juga kerja jadi dosen lo di Jakarta ini. Mungkin Farhan kenal?” ujar tante Ros.
“Mengajar dimana dia tante?” tanyaku.
“Waduh tante juga kurang tahu dimana dia mengajar” lanjut tante Ros.
Tiba tiba saja terdengar ucapan salam dari depan pintu rumah
“Assalamualaikum…” suara seorang perempuan.
“Coba kamu lihat keluar Farhan. Mungkin itu Ola..“ Ibu menyuruhku membukakan pintu.
Aku berjalan ke depan sambil membukakan pintu. Alangkah terkejut aku begitu melihat siapa gadis yang berdiri di depanku.
“Nayla….?  Ucapku terkejut.
“Lo Pak Farhan? Dia tak kalah terkejutnya denganku.
Aku kemudian mempersilahkan Nayla masuk ke rumah. Hatiku mulai berdetak tidak karuan. Tapi ku coba bersikap setenang mungkin.
“Nah..ini dia buk Aisyah. Kenalkan keponakanku, namanya Ola” Tante Ros memperkenalkannya kepada Ibu. Nayla terlihat sedikit gugup bersalaman dengan Ibu.
“Ola..ini Adi yang tante ceritakan tempo hari”, tante Ros memperkenalkan Nayla dengan nama Ola kepadaku. 
“Tante Ros…ini mah dosen di kampus Farhan. Namanya Nayla.” Setengah tidak percaya dengan kejadian dihadapanku saat ini. Mungkin Nayla gadis yang akan dijodohkan denganku? Pikirku dalam hati.
“Iya…namanya Nayla Uthami. Kami di rumah biasa memanggilnya Ola” jelas tante Ros.
Nayla hanya terdiam dan menunduk, raut wajahnya jelas tersipu malu. Mungkin dia juga tidak menyangka akan bertemu denganku di situasi seperti ini.
Selanjutnya kami hanya bisa terdiam satu sama lain.
“Gimana Han?, tanya ibu berbisik kepadaku.
“Gimana ya buk?,,jawabku setengah bingung. Aku tidak tahu harus  menjawab apa.
Entah takdir apa yang menghampiri hidupku. Tak disangka rupanya wanita yang ku dambakan selama ini muncul tiba-tiba ke rumah dengan keluarganya. Sosok wanita sholehah dengan kecerdasan yang tidak diragukan lagi.
“Han. Kok kamu diam?, tanya Ibu
“Han……….
“Haaaannn…………..
“Haaan……………………
Aku tersentak mendengar teriakan Ibu.
Aku memandang sekeliling rumah. Tidak ada apa – apa. Hanya terdengar sayup-sayup suara adzan maghrib berkumandang.
Dimana aku?Mana Nayla? Pikirku heran
“Kamu ini..Ibu lagi asik cerita tadi malah tidur “
“Tidur? Astaghfirullaah…rupanya kejadian tadi hanya mimpi.






           





Comments

Popular Posts