SEPENGGAL CERITA DI LINTAS SUMATERA
Bus ini terus berlari menyusuri setiap lintasan yang dilewatinya. Suasana malam yang sepi dari kendaraan tampak membuat sang sopir bersemangat memacu kendaraannya. Kalaupun ada, barangkali hanya ada satu dua truk barang atau bus yang masih melintas. Satu hal yang hebat dari para sopir bus malam adalah system pengaturan jadwal tidur yang baik. Biasanya setiap bus malam memiliki 2 orang sopir yang akan mengendarai bus secara bergiliran. Mereka akan bergantian membawa bus jika sudah berhenti di sebuah rumah makan atau rest area. Misalnya ketika kawannya sedang berkendara di siang hari, maka sopir yang lain akan tidur agar bisa mengendarai bus dengan baik di malam hari. Bukan apa-apa, suasana jalanan lintas sumatera yang sempit, penuh dengan tikungan tajam, dan jurang di kanan kiri menuntut konsentrasi penuh saat mengendarai bus. Tak jarang terjadi kecelakaan atau kendaraan masuk jurang hanya karena sopirnya mengantuk.
Jam menunjukkan pukul 11
malam. Para penumpang lain sudah terlihat tertidur pulas, tapi gadis muda itu
tampak belum bisa memejamkan mata. Pikirannya menewarang jauh ke kampung
halamanya yang sudah hampir 3 tahun tak ia kunjungi. Sesekali ia melihat ke
layar handphone. Berharap bisa menemukan signal untuk bisa sekedar membuka akun
facebook menghilangkan rasa jenuh di hatinya. Tapi sepertinya sia-sia saja
mencari sinyal di daerah pesawangan seperti ini.
Sementara itu tanpa
sepengetahuannya, diam-diam seorang perempuan paruh baya yang duduk
bersebelahan dengannya memperhatikan dengan seksama. Sepertinya ia juga
mengalami hal yang sama. Belum bisa menemukan alasan yang tepat untuk bisa
tidur.
“Maaf nak…kenapa kok
belum tidur?ini kan sudah jam 11 malam?..tanya perempuan itu mencoba membuka
percakapan.
“Iya…saya masih belum
ngantuk. Pengen lihat-lihat pemandangan malam hari saja.”ia menjawab sekenanya.
“Ya alam pulau sumatera
memang sangat memukau dengan hutan-hutannya yang hijau. Sayang karena ulah
sebagian orang yang serakah membakar hutan, kini kondisinya tak seindah dulu
lagi. Oya, perkenalkan saya Fani Wijaya. Kamu bisa panggil saya Ibu Fani”, ujar
perempuan itu memperkenalkan diri.
“Saya Nuri…”, jawab gadis itu menjabat tangan
ibu Fani.
Selanjutnya mereka
berbicara basa basi. Rupanya mereka
berdua hendak menuju ke kota yang sama. Bedanya adalah kalau Nuri memang hendak
pulang ke kampung halaman, tapi Ibu Fani adalah orang Jakarta yang berkebetulan
ada urusan penting ke sumatera.
Tak lama kemudian, bus
yang mereka tumpangi ini berhenti di sebuah rumah makan. Biasanya kesempatan berhenti dimanfaatkan
oleh para penumpang untuk makan atau melaksanakan ibadah sholat isya. Maklum
saja, bus dari jawa ke sumatera atau sebaliknya biasanya hanya berhenti
sebanyak 4 kali. Itu berarti tak cuma makan yang harus di atur, termasuk ibadah
sholat pun harus dilaksanakan dengan jamak atau qashar.
“Kamu sudah sholat? Tanya
Ibu Fani.
Nuri tak menjawab.Ia
terus menyantap pop mie panasnya.
“Kamu muslim kan?lanjut
Ibu Fani..
“Tentu saja muslim.Saya
sudah sholat kok buk. Memang ibu bukan muslim?tanyanya
“hahaha Ah kamu persis
seperti anak lelakiku. Tak terlalu perhatian pada ibunya. Apa kamu tak lihat
kalau saya tidak memakai kerudung seperti ibu itu. Menandakan bahwa saya bukan
seorang muslim” jawabnya sambil menunjuk pada seorang ibu-ibu yang baru selesai
sholat.
Nuri baru saja sadar
dengan penampilan Ibu Fani yang baru dikenalnya beberapa sajam lalu. Walau memakai
celana dan baju panjang. Tapi tak ada kerudung yang menutupi rambut sebahunya
yang dibiarkan tergerai tanpa ikatan.
“Bukankah kerudung itu
ciri khas orang muslim….Ya walau kadang orang muslim itu sendiri merasa malu
memakainya?ujar Ibu Fani.
“Ibu menyindir saya? Ucap
Nuri.
“Lo kenapa kamu merasa
tersindir? Tanya ibu Fani heran
“Tidak juga..aku hanya
bercanda”jawab Nuri menyadari kekeliruannya berbicara.
“Ah mari kita segera naik
ke atas bus. Kayaknya sudah mau berangkat lagi..”ujar ibu Fani sambil bergegas membayar makanannya ke kasir.
Bus kembali melaju kencang
di gelapnya jalanan. Sejenak kata-kata Ibu Fani tadi terngiang-ngiang di
benaknya. Benar bahwa ia adalah seorang wanita muslimah. Tapi semua
kemuslimahannya itu nyaris saja tergadaikan di ibu kota. Identitasnya yang
pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren hampir saja ia kubur. Dan
prediketnya sebagai lulusan terbaik sebuah perguruan tinggi Islam sedikit lagi
saja akan musnah tak berbekas. Kalau saja Allah tak mengirimkannya seorang
teman, mungkin saat ini ia sudah hanyut tak menentu di sana. Sejenak pikirannya
melayang kembali ke peristiwa beberapa tahun yang lalu.
Semua
berawal dari ketika ia baru saja menamatkan kuliah. Lazimnya para sarjana di
penjuru negeri ini, mencari pekerjaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Sampai
suatu ketika ia mendapat tawaran dari seorang dosennya untuk bisa melanjutkan
kuliah S2 dengan harapan agar bisa mengajar di kampusnya. Namun karena
persoalan biaya, akhirnya ia memilih untuk tidak menerima tawaran itu.
“Jadi kamu ngambil
tawaran pak Taufik buat ngambil S2 Nur?kan bagus nanti kamu bisa jadi dosen..tanya
Afifah teman satu kosnya
“Nggak jadi kayaknya
fah…aku nggak ada biaya lagi.? Ujar Nuri singkat samba melipat sajadahnya
sehabis sholat.
“Memang sih pendidikan
menjadi salah satu barang mahal di negeri ini walaupun ada kemauan..hm terus
rencana mau apa lagi” kata Afifah
“Mau cari kerja lah..biar
bisa bantu ayah di kampung. Ayah ku sering sakit-sakitan.Udah nggak kuat lagi
ke ladang fah..”
Hari ke hari terus
berganti. Tak terasa hampir 1 tahun Nuri mencari pekerjaan namun belum juga ada
hasilnya. Sedangkan teman-temannya yang
lain satu per satu mulai mendapat pekerjaan, sedangkan sebagian lagi sudah ada
yang memutuskan menikah.
Sampai pada suatu hari datanglah
tawaran dari Raisa, saudara sepupunya untuk mencoba mencari kerja di Jakarta.
Setelah berbicara panjang lebar, akhirnya ayahnya memberi izin Nuri berangkat.
“Kalau memang keputusanmu
sudah bulat, ayah akan mengizinkanmu nak.Tapi ingat pesan ayah, jangan sesekali
kau tinggalkan sholat di sana Nuri..Satu lagi, kerudung di kepalamu ini jangan
juga sampai kau lepaskan hanya gara-gara pekerjaan. Ayah tidak ikhlas dunia
akhirat. Jangan khawatir dengan rezeki, semua Allah yang mengatur. Ingat itu
nak.”pesan ayahnya semalam sebelum ia berangkat.
“Insyaallah ayah”..jawab
Raisa sambil memeluk ayahnya.
Sesampainya di Jakarta,
ternyata keadaan tak banyak berubah. Justru mencari pekerjaan di ibu kota jauh
lebih sulit. Statusnya sebagai mahasiswa lulusan terbaik dengan nilai tertinggi
ternyata tak cukup banyak membantu. Hingga
datanglah informasi pekerjaan dari Raisa.
“Nuri..ini di koran ada
perusahaan yang membutuhkan karyawan di bidang HRD. Kamu kan tamatan psikologi,
cocok banget tuh. Gajinya lumayan besar lo”,
kata Raisa
“Serius..mana beritanya
coba lihat?, ujar Nuri meraih Koran yang dibawa Raisa.
“Wah ini cocok banget
sama aku ni sa….menurut kamu gimana?tanya Nuri
“Ya tergantung kamu
lah.tapi menurut aku ambil aja dulu. Susah lo ada kesempatan kayak gitu di
Jakarta..” Raisa coba memberi saran.
Penuh semangat Nuri
membaca berita itu. Tampaknya ia tertarik sekali dengan lowongan pekerjaan yang
ditawarkan. Tanpa pikir panjang keesokan harinya ia langsung mendatangi
perusahaan itu.
“Silahkan masuk mbak Nuri
Faulina. Bapak sudah menunggu anda untuk sesi wawancara”..seorang wanita muda
yang sepertinya bekerja sebagai sekretaris mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih mbak…”ucap
Nuri.
“Silahkan duduk mbak
Nuri. Saya Tedi Ardiansyah, Manajer perusahaan
ini” ujar seorang pria paruh baya yang sepertinya akan mewawancarai Nuri
“Saya Nuri Faulina..”
jawab Nuri setenang mungkin
Setelah melakukan sesi
wawancara, akhirnya Nuri diterima di perusahaan itu. Girang bukan main hati
Nuri mendengarnya. Tapi hanya sesaat, karena setelah itu sang manajer
mengajukan syarat yang terasa amat berat bagi Nuri
“Terus terang saya sangat
tertarik dengan potensi yang anda miliki. Dan kami sangat membutuhkan orang
seperti anda di perusahaan kami. Tapi ada satu syarat lagi yang harus anda
penuhi jika ingin bekerja di sini…”
“Apa itu pak?
“Anda tidak bisa berpakaian
tertutup seperti ini. Selain punya potensi, karyawan kami juga harus terlihat
menarik dan enak dilihat. Anda paham maksud saya?”
Sesaat Nuri terdiam..
“Tapi pak..berjilbab
adalah prinsip dasar saya sebagai seorang muslimah. Jadi tidak mungkin saya
lepaskan” tegas Nuri.
“Begini saudara Nuri,
anda itu punya potensi yang besar. Jangan biarkan itu semua sia-sia hanya
karena jilbab itu. Ini Jakarta..kota sejuta impian. Cari pekerjaan itu susah
sekali.Lagipula yang penting kan anda baik ke semua orang. Apalah artinya
sebuah jilbab? Saya rasa Tuhanpun akan memberi toleransi kepada anda.”Jelas Pak
Teddi coba meyakinkan Nuri.
Suasana hening sejenak..
“Saya tahu anda bimbang
Nuri. Anda tak harus memutuskan sekarang. Seandainya anda berubah pikiran,
silahkan hubungi saya. Perusahaan ini selalu terbuka untuk anda” ucap pak Tedi
Sore itu Nuri pulang
dengan perasaan tak menentu. Di satu sisi, ia sangat mendambakan pekerjaan ini.
Tapi di satu sisi, ia tidak ingin menggadaikan prinsipnya sebagai seorang
muslimah. Tadinya ia berpikir untuk meminta saran dari Raisa. Tapi sesaat ia
urungkan niatnya itu. Ia akan memikirkan sendiri jalan keluarnya.
“Gimana hasilnya
Nuri?diterima nggak? Tanya Raisa penasaran sesampainya Nuri di rumah.
“Belum ada jawaban
Raisa.Aku capek sekali. Tidur duluan ya,,” jawab Nuri pendek.
“Hm…..” Raisa hanya
terpana melihat sikap Nuri. Tapi ia memaklumi kalau Nuri mungkin saja
kelelahan.
Malam itu ia sama sekali
tak bersemangat untuk bercerita. Pikirannya bimbang, tak tahu harus memutuskan
apa. Matanya sama sekali tak bisa terpejam.
Raisa tampak sudah tertidur lelap di sampingnya Akhirnya ia putuskan
untuk melaksanakan shalat tahajjud.
“Ya Allah..apa yang harus
aku lakukan?aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Tapi aku juga tak ingin
berbuat dosa kepada Mu dengan melepaskan jilbab.Tolong berikan aku petunjukMu
ya Allah..” pinta Raisa dalam doanya.
Paginya Nuri pamit pergi
kepada Raisa. Ia akan menemui manajer perusahaan itu untuk menyampaikan
keputusannya. Pagi itu sebagaimana lazimnya gedung perkantoran, selalu ramai
oleh orang dan kendaraan yang berlalu lalang. Walau sesungguhnya ia masih
menyimpan keraguan, namun ia tetap mencoba menguatkan langkah masuk ke dalam.
Sesampainya di pintu, ia berpapasan dengan pak Teddi yang mewawancarinya kemarin.
Nuri sebetulnya agak sedikit terkejut bertemu dengan Pak Teddi. Tapi sebisa
mungkin ia sembunyikan rasa keterkejutannya itu dengan coba tersenyum ramah
kepada sang manajer.
“Ah saudara
Nuri..akhirnya kamu datang juga. Saya yakin kamu sudah mengambil keputusan. Dan
saya harap itu akan sama-sama menguntungkan bagi kita semua “, ucapk pak Teddi
sambil tersenyum.
“Iya pak..saya ingin membicarakan hal kemarin
dengan bapak”, ujar Nuri
“Baiklah..saya tunggu di
ruangan saya 1 jam lagi ya. Saya kebetulan ada rapat sekarang. Sampai jumpa
Nuri”, ucap Pak Teddi sambil terus berlalu meninggalkan Nuri.
Dalam suasana hati yang
setengah yakin, Nuri masuk ke toilet. Berdiri sejenak di depan kaca sambil
memandangi dirinya sambil merenungi keputusan yang akan di ambilnya. Sambil
menahan isak air mata, perlahan ia lepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.
“Maafkan aku ayah…Nuri
terpaksa melakukan ini”sesalnya dalam hati
Ia kemudian mencuci
mukanya agar tidak terlihat seperti orang yang habis menangis. Setelah merasa
yakin dengan penampilannya, Nuri bersiap pergi menemui pak Tedi di ruangannya.
Tapi tiba-tiba saja ia terkejut di luar toilet muncul orang yang amat
dikenalnya.
“Raisa…??? Ujar Nuri.
“Maafkan aku Nuri..aku
mengikuti kamu dari tadi pagi ke sini. Dan sebetulnya aku juga diam-diam
mendengar doa kamu waktu sholat tahajjud tadi malam.Aku hanya ingin memastikan
keadaan kamu baik-baik saja. Tapi aku tak menyangka kamu bakal mengambil
keputusan besar seperti ini” ucap Raisa.
“Aku terpaksa sa….aku
benar-benar butuh pekerjaan ini”, Nuri coba membela diri.
“Aku paham..tapi tak
harus dengan cara seperti ini. Kamu kemanakan agama yang kamu pelajari
bertahun-tahun?Bukankah kamu yang sering nasehati aku kalau rezeki Allah yang
atur..” Raisa coba menasehati Nuri.
“Tapi…..”
“Dengar aku Nuri…masih
banyak pekerjaan lain yang bisa kamu dapatkan tanpa harus berbuat seperti ini.
Ingat Nuri, uang yang bakal kamu dapat di sini nggak bakal berkah, nggak bakal
ada manfaatnya, kalau kamu begini. Apalah arti uang banyak kalau harga diri
kamu terjual seperti ini” cecar Raisa.
“Maafkan aku Raisa……Aku khilaf, aku salah”
kata Nuri sambil menangis
Sesaat kemudian mereka
berdua saling berpelukan. Tak peduli dengan tatapan orang yang lalu lalang.
“Sekarang kamu masuk lagi
ke dalam. Pasang lagi kerudung kamu ya. Lalu bilang sama bapak itu kalau kamu
akan tetap teguh dengan prinsip kamu “ ujar Raisa
Nuri hanya mengangguk
mengiyakan perkataan Raisa. Setelah merapikan penampilan seperti sedia kala,
mereka berdua kemudian menuju ruangan pak Teddi. Setelah berbicara panjang
lebar, akhirnya bapak itu dapat memahami keputusan Nuri.
“Terus terang saya kecewa
Nuri. Tadinya saya sangat mengharapkan kamu mau bergabung dengan perusahaan
kami. Tapi saya juga tidak bisa
berbicara banyak kalau memang alasan kamu tidak mau melepas jilbab adalah
karena masalah larangan agama”
Jelas pak Teddi.
“Maafkan saya pak…saya
kira sebagai orang terpelajar, bapak pasti akan bisa menghargai prinsip yang
saya punya. Saya permisi pak.” tegas Nuri.
“Ya saya paham dengan
itu. Tapi sebelum kamu pulang, saya ingin mengatakan ke kamu bahwa saya kagum
dengan kamu. Kebanyakan orang yang datang melamar pekerjaan ke sini, rata-rata
selalu menerima syarat yang kami ajukan. Apalagi alasannya kalau bukan karena
iming-iming gaji yang besar. Tapi terbukti kalau orang seperti itu tidak bisa
diandalkan. Dalam pikiran mereka hanya ada uang dan uang, tidak lebih. Kadang
dalam pekerjaan, yang dibutuhkan adalah orang dengan sikap dan prinsip yang
kuat. Barangkali kamu menyebutnya sebagai sebuah keikhlasan. Bukan begitu?”
“Benar pak…tapi saya
belum paham arah pembicaraan anda”
“Selamat bergabung di
perusahaan kami Nuri. Kapanpun anda akan bekerja, kami siap menunggu”..
Bagai petir di siang
bolong, Nuri seolah tak percaya dengan perkataan yang baru saja di dengarnya.
Sontak ia tersungku bersujud syukur kepada Allah atas karunia yang ia peroleh.
Sementara itu, Raisa yang sedari tadi memperhatikan dari balik dinding kaca
ruangan ikut tersenyum bahagia.
“Wah hebat juga kamu ya…”
puji Ibu Fani setelah menyimak cerita Nuri.
“Dan sampai sekarang saya
masih bekerja di tempat itu. Alhamdulillah bisa sedikit-sedikit membantu ayah
di kampung” ucap Nuri.
“Saya punya banyak
kenalan orang muslim. Tapi jarang lo ada yang seperti kamu. Kebanyakan ya kayak
cerita kamu tadi. Malahan ada yang terang-terangan mengatakan malu menggunakan
symbol-simbol islam seperti jilbab itu. Katanya nggak dibilang kuno, bahkan
malah takut disangka teroris. Saya sendiri juga heran entah apa hubungannya
antara kuno, teroris, dengan jilbab…” buk Fani menjelaskan pendapatnya.
“Biarkan sajalah
buk…namanya juga manusia. Ya kalau kata orang kampung saya : Kapalo nan samo
hitam, isi ba lain-lain (Kepala kita sama-hitam rambutnya, tapi isi pikiran
berbeda-beda)…hahaha” timpal Nuri.
Dan mereka terus
melanjutkan obrolan sampai akhirnya masing-masing terlelap tidur seiring dengan
laju bus yang semakin dekat mengantar para penumpangnya ke tujuan
masing-masing. Sang sopir yang dari tadi diam-diam menyimak pembicaraan antara
dua orang penumpangnya yang duduk di
belakangnya itu tersenyum. Sudah sekian puluh tahun ia membawa bus bolak balik
antara pulau jawa dan sumatera. Entah sudah berbagai macam dan ragam penumpang
yang telah dijumpainya. Dan kali ini ia kembali mendapat pelajaran tentang keteguhan hati dalam menjalani hidup.
Nanti sesampainya di rumah, kisah ini akan diceritakan kepada anak-anaknya. Ia
semakin bersemangat memutar setir busnya membelah jalanan. Berharap akan menemukan
hikmah lain di perjalanan selanjutnya yang akan ia tempuh.
Comments
Post a Comment